Siti Nur Lathifah, Tunarungu Cantik Yang Jadi Model Dan Peraih Beasiswa
21.14 |
Sebuah kisah sukses yang sangat inspiratif bagi siapapun. Keterbatasan
pendengaran karena menyandang tuna rungu tak membuat Siti Nur Lathifah patah
semangat mengejar mimpi. Dengan penuh kerja keras, ia melewati masa-masa kritis
akibat minder dengan pendengarannya itu, sampai akhirnya meraih beasiswa
Bidikmisi. Berkat prestasinya, ia bisa bertemu langsung menteri dan presiden.
![]() |
Siti Nur Lathifah sedang berpose |
Siti Nur Lathifah adalah satu dari sekian banyak kisah
menarik dan inspiratif yang diceritakan di buku 'Kebangkitan Kaum Duafa'
pada acara silaturahim Bidikmisi di Jakarta, Kamis (27/2/2014) lalu. Buku itu
diserahkan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sepintas, penampilan gadis berkerudung setinggi 166 cm itu
tak berbeda dengan perempuan lainnya. Wajahnya terlihat tak kurang satu apapun.
Perbedaan baru terlihat ketika dia berbicara. Tidak hanya bibirnya yang
bergerak, kedua tangannya pun ikut serta menerjemahkan tiap detail
kata-katanya.
Mahasiswi jurusan Seni Rupa di Universitas Brawijaya,
Malang, Jawa Timur, itu memang mengalami keterbatasan dalam pendengaran. Tapi,
keterbatasan fisik tersebut tak lantas membuat mahasiswi angkatan 2011 ini
berhenti berprestasi.
Perempuan asal Semarang yang lahir dari pasangan Mulyono dan
Munawaroh ini sangat menggemari dunia model. Dari dunia inilah ia banyak
mendulang prestasi.
Ia sebenarnya lahir seperti bayi normal pada umumnya.
Pendengarannya mengalami gangguan ketika berumur tujuh tahun. Dia mengalami
kecelakaan ketika bermain sepeda.
"Akibatnya, saya tidak bisa mendengar," ujar
Lathifah, panggilan akrab mahasiswi ini.
Dok Pribadi/Siti Nur Lathifah/Facebook Lulus SMA, Lathifah
merasa harus menghadapi perjuangan berat lainnya. Ia harus bisa meneruskan
pendidikan ke jenjang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi.
Saat kecil, Lathifah sering ditinggal orangtuanya untuk
mencari nafkah. Bapaknya bekerja sebagai tukang bangunan, sementara ibunya
menjadi buruh toko sablon. Praktis, ia bermain tanpa pengawasan.
Sejak kecelakaan dan akibatnya itu, Lathifah selalu berupaya
menerima keterbatasan dirinya. Hanya, dia mengungkapkan, pernah pada suatu masa
dirinya sangat merasa minder. Puncaknya terjadi ketika dia menginjak kelas X.
"Saya sangat minder, tidak percaya diri, karena sering
diejek teman-teman yang normal,” tutur Lathifah.
Lantaran sering mendapat ejekan, Lathifah mengaku sempat
marah dan kecewa kepada Tuhan. Tapi, banyak orang-orang di sekelilingnya yang
menguatkan dan memotivasinya. Kepala sekolahnya pun sering mengajaknya
mengikuti berbagai seminar motivasi.
Sampai akhirnya, sejak kelas XI, Lathifah lambat laun sadar
dan bisa menerima keadaan. Dia tak lagi fokus pada keterbatasan dirinya,
melainkan mulai menyibukkan diri dengan hobi, yaitu fesyen dan tata rias.
Lathifah mulai banyak mengikuti dan memenangkan lomba-lomba.
Satu demi satu prestasi diraihnya. Secara bertahap, kepercayaan dirinya bahkan
kian menguat.
"Saya semakin mensyukuri anugerah Tuhan yang dititipkan
pada diri saya. Meskipun saya memiliki keterbatasan, tapi saya bisa
berprestasi," tuturnya.
Kuliah normal
Lulus SMA, Lathifah merasa harus menghadapi perjuangan berat
lainnya. Ia harus bisa meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, yaitu
perguruan tinggi.
"Saya anak terakhir dari empat bersaudara. Ketiga kakak
laki-laki saya sudah menikah dan tidak ada yang kuliah," ungkapnya.
Lathifah mengaku maklum akan hal itu. Penghasilan
orangtuanya tak mencukupi untuk menyekolahkan keempat anaknya di perguruan
tinggi. Karena itulah, sejak awal, Lathifah menabung hadiah yang diperolehnya
setelah memenangi sejumlah lomba fesyen.
"Dari uang tabungan itulah saya bisa mendaftar kuliah,
dan alhamdulillah, saya mendapat bantuan Bidikmisi. Itu sangat membantu dan
meringankan beban orangtua saya," ucapnya.
Lathifah lalu memilih jurusan seni rupa di Universitas
Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Tak salah pilih, karena memang itulah jurusan
yang diinginkannya.
Ia juga mengaku bersykur, karena kakaknya tinggal di kota
itu. Lathifah pun lolos mengikuti setiap seleksi dan diterima di kampus
impiannya itu.
"Sebenarnya orangtua melarang saya untuk pergi jauh
dari Semarang," tuturnya.
Jalan hidup Lathifah pun berubah. Ia terus memenangkan
beragam lomba fesyen yang diikuti orang-orang "normal". Ia mengaku,
hanya dirinya peserta yang menderita tunarungu. Ia akui, semua itu mengokohkan
kepercayaan dirinya.
Namun, Lathifah berkisah, pencapaian terbesarnya saat ini
adalah bisa kuliah bersama mahasiswa yang normal. Sejak SD, Lathifah selalu
ditolak ketika ingin masuk sekolah umum. Akibatnya, ia selalu masuk sekolah
berkebutuhan khusus.
"Sekarang, saya bisa kuliah di dengan orang-orang
normal. Saya senang sekali," ucapnya.
Lathifah mengaku beruntung kuliah di kampus tersebut.
Pasalnya, ada sejumlah sukarelawan kerap membantu Lathifah bersosialisasi dan
berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Sukarelawan itu datang dari PSLD atau
Pusat Studi dan Layanan Disabilitas.
"Tapi, selama ini, seperti di kelas, saya dibantu oleh
teman-teman di sekeliling saya," ucapnya.
Misalnya, ketua kelasnya banyak membantu Lathifah dengan
cara berbicara oral secara perlahan-lahan agar Lathifah bisa membaca gerak
bibirnya. Sebaliknya, teman-teman Lathifah belajar bahasa isyarat.
"Jadi, kami sama-sama belajar dan sama-sama
mengerti," tuturnya.
Berangkat dari saling pengertian itulah, Lathifah mengaku
tidak banyak menemui kesulitan menuntut ilmu. Para dosennya kebanyakan sudah
tahu keadaan dirinya sehingga mereka bisa menyesuaikan diri dengan dirinya. Ada
dosen yang baik dan mau menerangkan dengan berbicara pelan-pelan sehingga
Lathifah bisa mengerti. Ketika ada hal atau kata tidak dimengertinya, Lathifah
langsung bertanya, baik kepada teman ataupun kepada dosen langsung.
"Saya sering berdiskusi dengan dosen terkait hal-hal
yang tidak saya mengerti di perkuliahan. Alhamdulillah, dosen-dosen banyak
membantu," tuturnya.(kompas)
0 comments:
Posting Komentar